Mudzakarah kubro kembali hadir dengan tema diskusi “Mendekati Allah dengan Ilmu Alam” dan “Urgensi Kebergaaman dalam Pandangan Al-Qur’an” (6/2/2023).
Sore hari di Aula Ponpes Al-Ishlah Sendangagung, Adji Wahyu Ibrahim (XI IPA 2) selaku pemateri pertama dan Ahmad Zidan Muzakki (XI IPA 2) selaku pemateri kedua menyampaikan materinya masing-masing dihadapan para ustadz dan teman-temannya.
Adji mengungkapkan bahwa ada banyak cara mendekatkan diri kepada Allah. “Dalam kehidupan tidak hanya lewat ilmu agama saja mendekatkan diri kepada Allah, tapi juga melalui ilmu alam. Dengan mempelajari ilmu alam, kita akan mencapai pada suatu pemahaman bahwa alam ini diciptakan oleh Allah”, ungkapnya saat presentasi.
Ia menjelaskan hal ini melalui QS. Al-Baqarah ayat 164. Pergantian siang dan malam, turunnya air hujan dan peredaran angin. Di mana ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa alam ini memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dan Allah adalah Sang Maha Pencipta.
Lebih lanjut, ia juga menyinggung QS. Fathir ayat 2 tentang ulama yang mengetahui penciptaan alam tersebut. Sehingga dijelaskan dalam ayat tersebut bahwa orang yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba lainnya adalah ulama.
Sementara pembahasan Zidan lebih menitik beratkan pada aspek sosial, yaitu keberagaman masyarakat. “Keberagaman itu suaatu hal yang wajar terjadi di setiap peradaban, namun pada suatu titik masyarakat menganggap keberagaman adalah suatu masalah”, ujarnya saat presentasi.
Ia melanjutkan bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi hal tersebut. “Faktor pertama, kurangnya kesadaran warga tentang keberagaman. Kedua, hasutan oknum tertentu tentang keberagaman. Ketiga, pengaruh dari lingkungan sekitar”, tambahnya.
Lantas ia menjelaskan keberagaman menurut pandangan Al-Qur’an dalam QS. Al-Hujurat ayat 13. Pada ayat ini ia mengutip Tafsir Al-Misbah bahwa banyaknya suku bangsa yang diciptakan oleh Allah tidak lain adalah untuk mengenal satu sama lain.
“Urgensi dari keberagaman adalah saling mengenal satu sama lain. Dengan begitu akan saling terbuka memberi manfaat dengan menarik pelajaran maupun pengalaman dari pihak lain”, jelasnya yang juga menjabat sebagai anggota pers Al-Ishlah.
Dalam pembahasannya, ia menitik beratkan pada bagaimana seseorang menyikapi keberagaman itu dengan mengahargai dan menghormati. Meskipun dalam suatu masyarakat ada yang memiliki aspek Islami ataupun tidak.
Di akhir sesi diskusi, Al-Ustadz Faiq El-Meida memberikan wawasan terkait diskusi yang telah berjalan.
“Menanggapi pertanyaan tentang orang ateis yang belajar Al-Qur’an bahwa ateis itu lebih dulu menolak Al-Qur’an dan lebih mengunggulkan nalar. Jadi, tugas seorang Muslim adalah menjelaskan bagaimana alam itu dapat dipahami secara rasional, baru setelah itu menyodorkan bukti-bukti yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an”, ungkapnya yang juga pernah menjadi juara LKTI Al-Qur’an.
Tak hanya itu, beliau juga menanggapi pertanyaan seputar plularisme. “Plular itu menerima keberagaman yang bermacam-macam. Dengan beragamnya agama di dunia ini, sehingga muncul aliran plularisme yang menganggap bahwa semua agama itu sama. Padahal sebagai Muslim agama yang benar adalah agama Islam”, ujarnya.
Reporter: M. Afiruddin
0 Comments